Fenomena Kutu Loncat Dalam Dunia Politik

Oleh : Wahyu Hidayat, S.IP

JambiOnline.id, - Berbicara tentang politik, tentu kita tidak bisa menafikkan tentang kekuasaan. Karena esensi modern mengenai politik yaitunya tiada lain hanya mencapai kekuasaan. Perebutan kekuasaan dalam dinamika politik memang seringkali menciderai esensi politik yang sesuai dengan patennya, kemunduran etika dalam berpolitik yang seringkali kita jumpai dalam dunia politik di negeri ini adalah salah satu contoh perilaku politisi yang melenceng.

Etika berpolitik memang menjadi problem dalam sistem politik demokrasi di Indonesia, karena untuk mencapai kekusaan tidak hanya diperebutkan oleh satu orang, melainkan diperebutkan oleh banyak orang yang beraliansi dalam bentuk organisasi. Maksudnya perebutan kekuasaan yang terjadi dilakukan dengan bentuk koalisi, tujuannya yaitu untuk mempermudah prosesnya.

Kerjasama atau sering disebut koalisi dalam politik memang sangat wajar dalam berdemokrasi, alasan politisnya karena mereka mempunyai kepentingan dan tujuan politik yang sama. Memang tindakan tersebut tidak melanggar aturan apapun, akan tetapi yang  harus kita ingat bahwa untuk mencapai suatu tujuan kekuasaan harus mengedepankan etika berpolitik, baik itu  konsistensi dalam berpolitik maupun perilaku berpolitik yang bermartabat.

Namun dinamika yang terjadi saat ini adalah dimana kita sering menemukan seorang figur politik yang dalam berpolitiknya mengenyampingkan etika berpolitik, salah satu contohnya istilah kutu loncat dalam berpolitik. Frase ini tentu adalah sebuah inkonsistensi atau tidak setia dalam berpolitik.  Kejadian seperti ini biasanya terjadi ketika dalam dinamika pemilu ataupun pilkada.

Meloncat untuk kekuasaan yang lebih tinggi adalah gambaran dari istilah kutu loncat yang menjadi virus dalam berpolitik. Kutu loncat dalam berpolitik adalah  strategi model baru dalam dunia politik, dimana loncat dari A ke B adalah hal yang lumrah dalam politik. 

Banyak sekali tokoh-tokoh politik yang dalam berpolitiknya menggambarkan apa yang sesuai penulis ceritkan diatas. Mendapatkan julukan kutu loncat adalah hal yang pantas ketika tidak konsisten dalam berpolitik.  Fenomena terbesar yang terjadi di negeri ini ialah dalam tubuh partai golkar, karena kita tahu bahwa tokoh-tokoh partai politik ternama saat ini. di Indonesia ini rata-rata ketua partai politik adalah mantan dari kader golkar. Minslakanlah, partai hanura, nasdem, dan gerindra dimana ketua dari partai tersebut adalah mantan kader partai golkar pada dulunya. ini contoh besarnya,kemudian contoh nyatanya saat ini sangat mudah menemukannya apalagi pada saat momen-momen pilkada. 

Sering kita jumpai ketidakkonsistenya para politisi. Penulis hanya berilustrasi tidak menyebutkan siapa pelakunya. Meloncat dari partai A ke partai B pada saat pilkada memang tidak bisa kita pungkiri ini sangat sering terjadi, akan tetapi kejadian ini seolah-olah sudah menajdi kebiasaan dalam tradisi politik di negeri ini. karenea alasan logisnya yaitu demi kepentingan kekuasaan semata.

Proses ini memang membuktikan bahwa tidak adanya kesamaan tujuan dan cara pandang dalam berpolitik.

Adegan loncat-loncat dalam karir politik adalah hal yang normal jika kita mengetahui secara baik, karena berbicara politik adalah perilaku yang melegalkan segala cara dalam mencapai kekuasaan. 
Akan tetapi etika dalam berpolitik menjadi tolak ukur masyarakat dalam membaca figur seorang politisi. Karena ini berhubungan dengan konsistensi atau inskonsisetensi atau dengan kata lain kesetiaan atau penghianatan.

Fenomena kutu loncat sebenarnya bisa kita artikan positif, tidak mesti  bersifat negatif, akan tetapi memang  demi kepentingan masyarakat. Jadi, frase  kutu loncat dalam berpolitik sah-sah saja, namun yang menjadi permasalahnnya yaitu perilaku kutu loncat yang sering kita jumpai dimana hanya untuk kekuasaan semata dan mengenyampingkan kepentingan masyarakat.

Harus kita akui rata-rata masyarakat kita tidak mlek terhadap politik, frase kutu loncat menajdi fenomena baru dalam berpolitik demokrasi. akan tetapi kultur masyarakat kita memang belum siap untuk menerina fenomena ini. akan tetapi figur politisi harus meyakinkan masyarakat agar fenomena kutu loncat bisa dimaknai sebagai tindakan berpolitik yang sah demi memenuhi hasrat dan kepentingan masyarakat, sehingga fenomene kutu loncat bisa berjalan dengan baik sebagaimana dengan yang kita dan masyarakat harapkan.

أحدث أقدم