KUDETA MYANMAR : Dilema Kemanusian dan Demokrasi

Jambionline.id - Apa yang Sedang Terjadi
Aksi Militer

Pada Senin, 1 Februari 2021 pasukan militer yang dikomandoi oleh Jenderal Senior Min Aung Hlaing memimpin kudeta terhadap pemerintah syah Myanmar dengan menahan tokoh-tokoh senior dari partai yang berkuasa NLD (National League for Democary) tokoh-tokoh yang ditahan seperti Aung San Suu Kyi sebagai penasihat negara dan Presiden Win Myint serta tokoh lainnya.

Kemudian pihak militer mengumumkan akan mengambil alih negara dengan alasan darurat dan memegang pemerintahan selama setahun dan berjanjian akan melaksanakan pemilihan umum ulang.

Setelah banyaknya protes dari demonstran pihak militer kemudian mengambil tindakan represif dengan alasan terpaksa dan berdalih sesuai aturan, selain itu pihak militer juga membatasi internet, memberlakukan jam malam, dan larangan kepada warga sipil lainnya.

Respon Rakyat Myanmar

Kurang dari 72 jam setelah kudeta, masyarakat Myanmar menumpahkan kemarahan dan frustasi terhadap militer melalui Facebook sebagai media sosial paling populer di Myanmar. Orang Myanmar menyebut gerakan mereka sebagai ‘civil disobedience movement’ atau Pembangkangan Sipil. Gerakan ini terdiri dari banyak elemen masyarakat seperti dokter, polisi, artis, guru, biksu, dan lain-lain. Masifnya gerakan penentangan kudeta yang juga disebarkan ke seluruh dunia melalui media sosial membuat isu kudeta ini cepat menjadi perhatian masyarakat dunia lainnya.

Penolakan di media sosial pun berlanjut dengan demonstrasi di jalanan, sekitar dua minggu demonstrasi semakin masif dan sampailah di hari berdarah pertama yaitu pada hari Jum’at, 19 Februari 2021. Adalah Mya Thwate Thwate Khaing yang menjadi korban pertama yang dikonfirmasi.

Tapi ternyata Mya Thwate Thawate Khaing tidak menjadi korban terakhir, dicatat dan dilaporkan oleh Kelompok Masyarakat Sipil Pengawas Tahanan Politik di Myanmar menyampaikan warga yang tewas dalam demonstrasi menentang kudeta militer sudah mencapai 581 orang sejak 1 Februari lalu. Dan dari hari ke hari pihak militer semakin ganas melakukan tindakn represi dan sepertinya belum ada tanda-tanda akan reda.

Selain dengan orasi para demonstran juga melakukan unjuk rasa dengan cara lainnya, seperti membunyikan klakson, membenturkan panci, dan memberi salam tiga jari yang mana semuanya adalah bagian dari simbol perlawanan.

Kenapa Kudeta Terjadi

Klaim Militer

Pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Min Aung Hlaing mengklaim bahwa pemilu yang dilaksanakan pada november 2020 di Myanmar terdapat kecurangan. Pemilu ini memenangkan partai NLD (National League for Democray) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi dengan hasil yang sangat telak.

Perspektif Sejarah

Myanmar adalah bekas jajahan Inggris selama kurang lebih 124 tahun. Setelah perang dunia kedua akhirnya Myanmar memperoleh kemerdekaannya pada 1948. Namun semenjak kemerdekaan ada banyak sekali pemberontakan dari etnis-etnis yang ada di Myanmar. Kemudian pada 1962 militer Myanmar melakukan kudeta untuk pertama kalinya dan merubah konstitusi untuk membuat pemerintahan junta militer yang kemudian membuat negara hanya di dominasi oleh satu partai yaitu BSPP (Burma Socialist Programme Party). Setelah berkuasa cukup lama BSPP kemudian mendapat gerakan perlawanan nasional pada tahun 1988 yang dikenal dengan gerakan 8888 karena dilakukan pada tanggal 8 bulan 8 dan tahun 1988 yang dimulai oleh mahasiswa dan kemudian menyebar secara masif ke seluruh lapisan masyarakat.

Gerakan nasional melawan BSPP ini dipimpin oleh Aung San Suu Kyii sebagai wajah pergerakan. Aung San Suu Kyii adalah anak dari Aung Sang yang dikenal sebagai salah satu bapak bangsa di Myanmar dalam merebut kemerdekaan negaranya. Tapi pada bulan september gerakan ini dikalahkan dan ribuan orang menjadi korban lalu militer kembali berkuasa.

Setelah gagal melakukan gerakan nasional tersebut, akhirnya Aung San Suu Kyii ditangkap dan dijadikan tahanan rumah selama 15 tahun. Namun, selama masa itu Aung San Su Kyii tetap melakukan perlawanan melalui partainya yang membuat ia menjadi salah satu peraih nobel kedamaian pada tahun 1991. 

Kemudian pada tahun 2008 pihak militer berjanji ingin membuat pemerintahan yang lebih demokratis. Dilaksanakanlah pemilu pada tahun 2010, namun pemilu ini dianggap di intervensi dan terdapat banyak penipuan pada pemilu ini Aung San Suu Kyii dan partainya NLD (National League for Democarcy) tidak ikut. Dan hasil dari pemilu tidak jauh berbeda yang awalnya negara dikuasai oleh pihak militer sekarang beralih ke partai yang tetap saja pro militer yang disebut USDP (Union Solidarity and Development Party) dan partai ini menguasai negara secara syah dan dominan pada tahun 2011-2015.

Barulah pada tahun 2015, pemerintahan Myanmar bisa mengadakan pemilu yang lebih jujur dan hasil dari pemilu ini memenangkan telak NLD (National League for Democary) yang dipimping oleh Aung San Suu Kyii daripada pihak militer. Namun, Aung San Suu Kyii tidak bisa menjadi presiden karena anaknya adalah warga negara lain dan konstitusi negara Myanmar melarangnya. Tapi Aung San Suu Kyii pun mendapat tempat sebagai penasehat negara atau setara dengan perdana menteri, jabatan yang tidak ada sebelumnya walaupun orang-orang beranggapan bahwa dialah pemimpin Myanmar yang sesungguhnya. 

Teori Ahli

Teori Kompetisi

Para ahli berpendapat bahwa Aung San Suu Kyii dengan partainya sudah mencoba untuk menyingkirkan pihak militer dari kekuasaan dan mengurangi pengaruh mereka. Hal ini mulai terasa semenjak NLD memenangkan pemilu, partai ini berencana melakukan reformasi dan merubah konsitusi untuk menghilangkan hak-hak istemewa pihak militer, seperti jaminan 25% kursi parlemen, penguasaan terhadap sistem pertahanan, imigrasi, dan peradilan. Hal ini lah yang dikhawatirkan pihak militer dan membuat mereka melakukan pemberontakan.

Teori Min Aung Hlaing

Min Aung Hlaing sudah menunjukan indikasi keinginan dan ambisinya untuk menjadi presiden dan pemimpin tertinggi Myanmar. Selain itu, ada anggapan ia ingin melindungi dirinya terhadap hal yang sudah dilakukannya di Rohingya dimana pihak militer melakukan pembantai yang sangat kejam di sana, Min Aung Hlaing bahkan di juluki sebagai ‘Most Wanted Men On The Planet’ karena kasus genosida tersebut. Namun, hal lain yang perlu digaris bawahi adalah kritik dunia internasional kepada Aung San Suu Kyii karena diam terhadap kejahatan militer di Rohingya tersebut karena kekecaman paling brutal pihak militer justru terjadi pada tahun 2017 dimana saat itu pemerintahan berada di tangan Aung San Suu Kyii.

Respon Komunitas Internasional

Menanggapi hal yang terjadi di Myanmar muncul respon yang beragam dari dunia Internatioal. Walaupun bisa disimpulkan secara garis besar banyak yang mengecam kudeta yang dilakukan pihak militer dan mendesak untuk segera melakukan kekerasan. Namun, disamping itu tetap ada pihak yang bersikap lembut bahkan mendukung pihak militer.

Amerika Serikat dan Eropa menjadi salah satu aktor yang paling keras dalam mengutuk hal yang terjadi di Myanmar. Joe Biden selaku presiden Amerika Serikat langsung memberikan sanksi ekonomi untuk Myanmar, Uni Eropa pun bersiap melakukan hal yang sama.

ASEAN sendiri sebagai salah satu perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara merespon dengan sikap yang berbeda-beda. Walupun secara garis besar Presiden Joko Widodo sudah merencanakan untuk melakukan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) dengan pemimpin ASEAN yang saat ini dipegang oleh Sultan Hassanal Bolkiah dari Brunei. ASEAN menghormati salah satu prinsip di piagam ASEAN yaitu prinsip untuk tidak mengintervensi atau mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Namun, tetap menyerukan untuk menghormati kemanusiaan, persatuan, dan demokrasi konstitusional serta mendepankan dialog.

Negara seperi Thailand, Kamboja, dan Filipina mengatakan bahwa kudeta yang dilakukan adalah masalah dalam negeri Myanmar dan tidak perlu ikut campur. Sedangkan Indonesia, Malaysia, dan Singapura menyampaikan keprihatinan.

Rusia dan Cina yang juga merupakan aktor penting dalam dunia hubungan internasional awalnya menujukan sikap mendukung pihak militer, tapi kemudian Cina terlihat sedikit melunak dengan meminta pihak militer untuk menurunkan tindakan represi mereka dan melepaskan pimpinan Aung San Suu Kyii. Peran Rusia dan Cina sangat krusial mengingat mereka bisa memberi veto di forum dewan keamanan PBB terhadap kasus Myanmar.

Solusi dan Rekomendasi

Penyelesaian Ideal

Di kondisi ideal yang kita semua inginkan tentunya adalah penyelesaian masalah sedamai mungkin tanpa adanya korban lanjutan, pemulihan ke kondisi damai dan demokrasi sebelumnya serta menghukum mereka yang melakukan kejahatan. Hal ini mungkin bisa dilakukan saat usaha yang dilakukan oleh dunia internasional dalam menekan pemerintahan junta militer berhasil dan membuat pihak militer mengembalikan kondisi seperti semula dan mengakui semua perbuatannya. Namun, tentu jarang sekali hal seperti in bisa terjadi di dunia nyata. Hal ini seolah too good to be true, atau hanya harapan semua orang saja dan memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi bahkan mustahil karena kita tahu sifat dasar manusia yaitu homo homini lupus atau “manusia adalah srigala pemangsa bagi sesamanya”

Solusi Maksimum

Saat kondisi sudah sangat darurat ditandai dengan korban berjatuhan yang sangat banyak, sebenarnya PBB bisa mengirimkan pasukan perdamaian untuk menjaga keamanan di Myanmar, walaupun sebenarnya hal ini melanggar prinsip non intervensi dan kedaulatan negara, tapi PBB bisa menggunakan dalih untuk penegakan HAM jika kekerasan militer di Myanmar bisa di kategorikan sebagai kejahatan terhadap manusia. Namun, hal ini juga bisa tidak terjadi jika di veto oleh salah satu anggota tetap dewan keamanan PBB yaitu, Amerika Serikat, United Kingdom, Rusia, Prancis, dan Cina. Dan seperti yang diketahui bahwa Rusia dan Cina berkemungkinan akan menggunakan hak veto nya jika PBB berencana mengirimkan pasukan ke Myanmar karena kedekatan Rusia dan Cina dengan pemerintah Myanmar. Pengirim pasukan internasional juga bisa menimbulkan dampak lain seperti meningkatnya ketegangan dalam negeri Myanmar dan juga hal lainnya, sehingga hal ini harus di perhitungkan lebih dalam lagi.

Solusi yang Paling Dimungkinkan
Dilansir dari Antaranews, sebagaimana pendapat banyak ahli termasuk bapak Theo L Sambuaga yang merupakan mantan ketua komisi I DPR RI & Presiden Komisi Politik Inter-Parlimentary Union (IPU). Solusi yang paling efektif dan paling mungkin yang bisa dilakukan adalah dengan membuat sebuah utusan khusus atau sering disebut dengan Special Envoy yang bisa dari perwakilan dunia internasional di luar myanmar seperti Asean bahkan Indonesia. 

Utusan Khusus atau Special Envoy ini adalah mereka yang diakui oleh kedua pihak baik oleh pemerintahan sipil maupun militer. Dan mereka haruslah orang yang tidak memiliki kedudukukan di pemerintahan atau memiliki jabatan menurut pendapat dar Prof. Hikmahanto, agar tidak memberi kesan legitimasi terhadap pemerintahan militer. Nantinya Special Envoy ini agar bertugas untuk menemui pihak yang bersengketa, mendengarkan pendapat, keinginan, dan mencoba mendiskusikan jalan keluar dengan damai.


Tentang Penulis
* Aufa Septian adalah mahasiswa semester 2 di program studi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Lebih baru Lebih lama